Penurunan tersebut didorong oleh naiknya jumlah pekerja dari 104,49 juta orang pada Februari menjadi 104,87 juta per Agustus lalu. Lapangan pekerjaan yang menempati porsi terbesar adalah pertanian dengan 41,61 juta pekerja.
Walaupun pekerja di sektor pertanian turun dari 43,03 juta orang per Februari, kenaikan angka pekerja didorong oleh naiknya pekerja di sektor lain. Mulai jasa yang naik dari 13,61 juta menjadi 14 juta, transportasi dari 5,95 juta menjadi 6,12 juta, perdagangan dari 21,84 juta menjadi 21,95 juta, dan sektor industri dari 12,62 juta menjadi 12,84 juta.
"Karena sedang tidak musim panen, banyak yang meninggalkan lapangan pertanian dan mencari pekerjaan di kota," ucap Rustam. Sementara di kota terdapat banyak pekerjaan mulai dari buruh kasar, perdagangan, dan lainnya. "Apalagi mulai pertengahan tahun proyek pemerintah gencar karena anggaran sudah turun," ujarnya.
Kebanyakan pekerja tercatat berkecimpung di sektor informal, yaitu 67,86 juta atau 69,35 persen. "Pekerja formal hanya 32,14 juta atau 30,65 persen," ucap Rustam. Pekerja formal menunjukkan kenaikan 940 ribu orang dibandingkan Agustus tahun lalu. "(Hal ini) mengindikasikan terjadi pemulihan ekonomi dari dampak krisis global," tutur dia.
Di balik kabar positif ini, yang perlu diperhatikan adalah masih dominannya pekerja dengan tingkat pendidikan rendah. Lulusan sekolah dasar mendominasi dengan 55,21 juta pekerja. Pekerja dengan pendidikan sarjana hanya 4,66 juta orang atau 4,44 persen.
Badan Statistik memasukkan orang yang bekerja minimal satu jam per pekan dengan penghasilan rutin sebagai pekerja. "Sesuai dengan ketentuan ILO (Organisasi Buruh Internasional)," ujar Rustam.
Jumlah pekerja dengan jam kerja 1 hingga 7 jam per pekan sangat minim, yaitu 1,31 juta atau sekitar 1 persen dari seluruh pekerja. Kebanyakan pekerja atau 73,30 juta, bekerja di atas 35 jam per pekan. "Ini menjawab kritik yang mengatakan data tenaga kerja BPS lemah karena memasukkan pekerja yang cuma bekerja satu jam seminggu," kata Rustam.
REZA MAULANA