TEMPO Interaktif, Jakarta - Asosiasi Asuransi Umum Indonesia mendesak pemerintah untuk menerapkan program wajib asuransi bencana. "Asuransi itu bisa menyelamatkan APBN untuk rehabilitasi pasca bencana," kata Ketua Asosiasi Asuransi, Kornelius Simanjuntak, di Jakarta hari ini.
Menurut dia, asuransi bencana diperlukan mengingat Indonesia berada di wilayah rawan gempa yang dikenal dengan sabuk api atau ring of fire. Gempa di Sumatera Barat dan Jambi mengakibatkan kerugian ekonomi lebih dari Rp 1,3 triliun dan gempa besar lainnya masih mengancam.
Negara lain yang juga rawan gempa, seperti Jepang, sudah mewajibkan asuransi bencana dan termaktub dalam undang-undang. "Kami harap parlemen yang baru bisa lebih tanggap," kujar Kornelius.
Frans Sahusilawane, Presiden Direktur Maipark, perusahaan pool asuransi gempa di Indonesia mengatakan asuransi gempa bisa dimasukkan dalam skema kredit kepemilikan rumah. "Di Taiwan ada dua bank yang pailit karena kredit rumah yang macet pasca gempa," katanya. Pasalnya, kerusakan masif yang disebabkan gempa membuat debitur enggan membayar cicilan.
Awalnya, menurut Frans, masyarakat Indonesia masih buta dan mengabaikan asuransi. Namun, keadaan itu langsung berubah saat tahu bahwa nilai klaim asuransi murah ketimbang manfaat yang didapat. Dia mencontohkan premi rumah senilai Rp 1 miliar sekitar Rp 1,5 juta per tahun. Artinya, sebulan hanya Rp 100 ribuan.
Sayangnya, pasar asuransi Indonesia masih banyak yang belum tergarap. Kornelius mengatakan, dengan tingat pertumbuhan sekitar 10 persen per tahun, total premi baru menyumbang 0,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau nilainya Rp 20 triliun per tahun. Padahal, negara lain 4 persen dari PDB.
REZA MAULANA