Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Lampu Kuning Pengangguran

image-gnews
Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta - Sebuah keputusan penting dibuat para menteri keuangan negara G20 di London, 4-5 September lalu: dana stimulus harus terus dikucurkan. Para menteri sebenarnya yakin, krisis sudah sampai pada titik terendah dan mulai berbalik, tapi angka pengangguran yang terus tumbuh membuat mereka khawatir. "Telah terjadi perbaikan pada sistem keuangan, pertumbuhan sedang terjadi,” kata Menteri Keuangan Amerika Serikat Timothy Geithner.

Namun semua itu bukannya tanpa catatan. Menurut Geithner, sejumlah negara maju menghadapi masalah yang sama, yakni angka pengangguran yang begitu tinggi. “Ini di luar dugaan. Syarat untuk sebuah perbaikan yang berkelanjutan belum terpenuhi,” kata Geithner lagi. Perbaikan berkelanjutan memang kata kunci agar dunia bisa melewati krisis ini lebih cepat dan juga punya dampak yang lebih panjang.

Sulitnya angka pengangguran itu dikendalikan, menurut John Hussman, profesor ekonomi dari University of Michigan, merupakan ciri unik krisis kali ini. Dalam setiap resesi, biasanya angka pengangguran berbanding lurus dengan perubahan indikator ekonomi lain. Tapi kali ini beda. Ketika banyak indikator membaik, angka pengangguran malah terus naik. “Utang besar serta rapuhnya ekonomi rumah tangga akibat krisis membuat dinamika perekonomian sulit ditebak,” kata Hussman. Akibatnya, arah perekonomian kini lebih dikendalikan oleh jumlah pengangguran. Selama angka pengangguran terus meningkat, krisis belum berakhir, meski indikator lain membaik.

Hitungan Organisasi Buruh Internasional (ILO), pada akhir tahun ini jumlah penganggur di seluruh dunia akan mencapai 210 juta. Ini 7,1 persen dari angkatan kerja dunia saat ini, naik dari 6 persen tahun lalu. Dan menurut Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Dominique Strauss-Kahn, jumlah ini akan terus bertambah hingga beberapa tahun mendatang. ”Krisis pekerjaan ini hanya akan berakhir kalau sektor swasta kembali bergairah,” katanya.

Masalahnya, menggairahkan sektor swasta dan menurunkan angka pengangguran bukan soal mudah. Di Cina, stimulus US$ 586 miliar atawa sekitar Rp 5.860 triliun yang digulirkan pemerintah berhasil mendorong perekonomian negara itu tumbuh 7,9 persen pada kuartal kedua 2009. Angka pertumbuhan bahkan diperkirakan naik menjadi 10 persen pada awal tahun depan. Toh jumlah pengangguran di negeri itu tetap berkisar di angka 40 juta.

Ini juga terjadi di Amerika, Jerman, Prancis, dan banyak negara lain. Amerika, misalnya, meski perekonomian negara ini boleh dikata sudah mulai membaik--produk domestik bruto kuartal lalu cuma terkontraksi 1 persen--jumlah penganggur sama sekali tidak berkurang. Malah, pada Agustus lalu angka pengangguran AS mencapai titik tertinggi dalam 26 tahun terakhir, 9,7 persen atau sekitar 15 juta.

Maka, sewaktu diwawancarai harian Prancis Challenges, pemenang Nobel Ekonomi 2001 Joseph Stiglitz mengkritik ekonom yang mendefinisikan resesi sebagai gejala pertumbuhan ekonomi negatif dua kuartal berturut-turut, dan bahwa krisis akan berakhir manakala pertumbuhan kembali positif. “Itu keliru,” kata Stiglitz. “Bagi kebanyakan orang, resesi justru baru dimulai saat angka pengangguran naik dan pekerjaan sulit didapat.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika angka pengangguran yang tinggi ini dibiarkan berlangsung lama, kata Stiglitz, situasi bisa jadi akan bertambah buruk. Soalnya, meski kehilangan pekerjaan, banyak keluarga masih harus terus membayar utang. Ini membuat mereka terpaksa menguras simpanan. Kalau sampai simpanan ludes padahal pekerjaan belum didapat, mereka akan berhenti membayar utang. Ini bisa memunculkan krisis baru.

“Yang terburuk memang sudah lewat. Tapi angka pengangguran menunjukkan bahwa krisis belum berlalu dan fundamental ekonomi dunia masih lemah,” kata Stiglitz lagi. Dengan mempertimbangkan tingkat pengangguran saat ini, dia meramalkan perekonomian dunia baru akan kembali normal empat tahun mendatang.

Philipus Parera (Bloomberg, Canadian Business, Forbes, Business Insider)


Pengangguran di Beberapa Negara

Amerika        15 juta            9,7 persen
Jerman        250 ribu            8,3 persen
Prancis        2,5 juta            9,4 persen
Inggris        2,4 juta            7,8 persen
Cina            40 juta            4,3 persen
Jepang        3,6 juta            5,7 persen
Hong Kong    214 ribu            5,4 persen
Australia        830 ribu            7,4 persen    

*)Data akhir semester pertama 2009, kecuali Amerika

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Dampak Perang Gaza, Angka Pengangguran di Palestina di Atas 50 Persen

30 hari lalu

Sekelompok pria pengangguran membakar kardus ketika mereka berusaha menghangatkan diri ketika fajar di Kota Gaza, 18 Februari 2019. Orang-orang itu mengatakan mereka akan dengan senang hati bekerja hanya dengan 5 syikal sehari (sekitar 1,35 Dolar AS) tetapi tidak ada pekerjaan. Pada Oktober 2018, Bank Dunia mengatakan, 54 persen tenaga kerja Gaza menganggur, termasuk 70 persen pemuda. REUTERS/Dylan Martinez
Dampak Perang Gaza, Angka Pengangguran di Palestina di Atas 50 Persen

ILO memperkirakan jika perang Gaza masih berlanjut sampai akhir Maret 2024, maka angka pengangguran bisa tembus 57 persen.


2 Ribu Siswa SMA Program Double Track di Jawa Timur Dapat Pelatihan Digital

50 hari lalu

Ilustrasi bekerja di era digital. Foto: Freepik
2 Ribu Siswa SMA Program Double Track di Jawa Timur Dapat Pelatihan Digital

Ribuan peserta itu terdiri dari siswa asal 52 SMAN maupun SMA swasta, serta remaja dari 10 lembaga non formal di Jawa Timur.


Rupiah Pekan Ini Berpotensi Menguat, Apa Pemicunya?

52 hari lalu

Karyawan tengah menghitung uang pecahan 100 dolar Amerika di sebelah uang rupiah di penukaran valuta asing di Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Rupiah Pekan Ini Berpotensi Menguat, Apa Pemicunya?

Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra, mengatakan rupiah bisa bergerak ke arah Rp 15.500 per dolar AS pada pekan ini.


Philadelphia Jadi Kota 'Zombie', Apa Penyebabnya?

54 hari lalu

Sebuah sepeda digambarkan di tempat kejadian saat penyelidikan sedang berlangsung sehari setelah terjadinya aksi penembakan massal di bagian Kingsessing di barat daya Philadelphia, Pennsylvania, AS, 4 Juli 2023. REUTERS/Bastiaan Slabbers
Philadelphia Jadi Kota 'Zombie', Apa Penyebabnya?

Wilayah Philadelphia di Amerika Serikat kini heboh karena disebut Kota 'Zombie', Kenapa?


Generasi Muda di Cina Kini Lebih Senang Rebahan, Ogah Kerja Keras

15 Februari 2024

Sejumlah remaja antre untuk diperiksa kesehatan saat vaksin di Heihe, Cina, 3 Agustus 2021. Cina melaporkan 55 kasus baru Covid-19 yang ditransmisikan secara lokal pada 2 Agustus 2021. Virus Corona menyebar cepat seiring merebaknya varian Delta di lebih dari 20 kota dan 12 provinsi. China Daily via REUTERS
Generasi Muda di Cina Kini Lebih Senang Rebahan, Ogah Kerja Keras

Di tengah melemahnya perekonomian Cina, generasi muda di sana lebih senang rebahan dibandingkan bekerja keras.


Pengungsi Ukraina di Jerman Belum Terserap Sektor Tenaga Kerja

7 Februari 2024

Orang-orang menunggu di pusat penampungan pengungsi dari Ukraina di bekas bandara Tegel di Berlin, Jerman, 17 Mei 2023. REUTERS/Michele Tantussi
Pengungsi Ukraina di Jerman Belum Terserap Sektor Tenaga Kerja

Hanya 25,2 persen pengungsi Ukraina di Jerman yang saat ini berstatus bekerja. Angka itu cukup kecil jika dibanding negara Eropa lainnya.


Somalia, Negara Paling Korup di Dunia Versi Transparency International

1 Februari 2024

Pengungsi Somalia menyiapkan makanan bersama anak-anaknya untuk buka puasa Ramadhan di Hodan, Mogadishu, Somalia. REUTERS/Feisal Omar
Somalia, Negara Paling Korup di Dunia Versi Transparency International

Transparency International telah merilis hasil Indeks Persepsi Korupsi. Berikut profil Somalia, negara paling korup di dunia.


Anies Janji Evaluasi UU Cipta Kerja, Bandingkan Tingkat Pengangguran Era Jokowi Vs SBY

29 Januari 2024

Calon Presiden nomor urut 1 Anies Baswedan menyapa warga masyarakat saat kampanye  di Monumen Bandung Lautan Api di Bandung, Jawa Barat, 28 Januari 2024. Ribuan orang warga pendukung dan simpatisan memadati kampanye calon Presiden Anies Baswedan yang hadir didampingi Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Jususf Kalla. TEMPO/Prima mulia
Anies Janji Evaluasi UU Cipta Kerja, Bandingkan Tingkat Pengangguran Era Jokowi Vs SBY

Calon Presiden nomor urut satu Anies Baswedan berjanji bakal mengkaji ulang UU Ciptaker yang tidak memberikan rasa keadilan untuk pekerja kerah biru.


Cak Imin: Kesejahteraan Bukan untuk Segelintir Elite, Bukan untuk yang Ingin Berkuasa Terus-menerus

24 Januari 2024

Cak Imin: Kesejahteraan Bukan untuk Segelintir Elite, Bukan untuk yang Ingin Berkuasa Terus-menerus

Cawapres Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menegaskan pemerataan pembangunan menjadi salah satu prioritas program jika AMIN terpilih pada Pemilu 2024.


Anies Baswedan Sebut Investasi di Batam Padat Modal: Akibatnya Banyak Pengangguran

20 Januari 2024

Anies Baswedan saat bersalaman dengan para pendukung di Masjid Agung Kota Batam, Provinsi Kepri, Jumat, 19 Januari 2024. TEMPO/Yogi Eka Sahputra
Anies Baswedan Sebut Investasi di Batam Padat Modal: Akibatnya Banyak Pengangguran

Anies Baswedan menyebut karakter investasi di Batam yang padat modal menyebabkan banyak pengangguran karena tenaga kerja tidak terserap.