TEMPO Interaktif, Jakarta - Departemen Perindustrian menilai kenaikan harga gula putih konsumsi tidak wajar. Direktur Makanan Direktorat Jenderal Agro dan Kimia Yelita Basri mengatakan kenaikan harga gula putih seharusnya tidak mengikuti kenaikan harga gula internasional. "Karena gula putih tidak impor bahan baku," kata Yelita kepada Tempo di kantornya, Rabu (26/8).
Dia melanjutkan, produksi gula saat ini seharusnya tidak terkena tambahan biaya karena sedang musim giling atau panen. Menurut Yelita, hanya gula rafinasi yang sepatutnya mengikuti harga gula internasional. Sebab, bahan baku gula rafinasi yaitu gula mentah atau raw sugar. Harga gula internasional saat ini sekitar US$ 550 per ton.
Konsumsi gula putih di masyarakat tahun ini diperkirakan 2,7 juta ton. Kebutuhan gula putih dipenuhi dari 58 unit pabrik gula tebu, misalnya PT Perkebunan Nusantara. Produksi gula putih dari tebu untuk tahun ini diperkirakan 2,8 juta ton. Angka ini naik dibandingkan produksi tahun lalu sekitar 2,66 juta ton. "Jadi Indonesia itu sudah swasembada gula," kata Yelita.
Industri makanan dan minuman menggunakan gula rafinasi yang diproduksi dari delapan produsen gula rafinasi. Kebutuhan industri 1,85 sampai 1,9 juta ton per tahun. Sementara produksi gula rafinasi tahun ini diprediksi 1,52 juta ton. "Diperkirakan cukup untuk industri makanan dan minuman," ujarnya.
Yelita menambahkan, gula rafinasi tidak diperbolehkan masuk pasar tradisional supaya tidak mengganggu penyerapan gula putih dari tebu.
Kebutuhan industri makanan dan minuman, kata dia, biasanya mengalami kenaikan pada saat bulan puasa sampai Lebaran. Pada Januari-April tahun ini, konsumsi gula industri melambat, antara 110.000-150.000 ton. Namun menjelang puasa terlihat ada kenaikan konsumsi. "Kalau masa peak bisa sampai 200.000 ton," ujarnya.
NIEKE INDRIETTA