TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil menolak rencana penurunan bea masuk gula impor yang diusulkan pemerintah demi menstabilkan harga gula konsumen yang harganya terus menanjak dengan kisaran Rp 9.000 hingga Rp 11.000 per kg.
Kenaikan harga gula eceran, menurut dia, masih dalam batas normal seiring melonjaknya harga gula internasional yang mencapai US$ 560 per ton. "Pemerintah jangan panik, harga masih normal ini dampak psikologis karena ini pertama kalinya harga gula internasional melonjak segitu tinggi," kata Arum saat dihubungi, Selasa (25/8).
Menurutnya pemerintah harus melakukan inventarisasi pasokan gula dan tidak terburu - buru membuka keran impor karena saat ini sedang memasuki musim giling dan pasokan gula sedang dalam masa puncak. "Pasokan gula dalam negeri cukup," tambahnya.
Arum menilai harga gula masih dalam batas kewajaran. Saat ini kebutuhan gula perkapita mencapai 9 kg per rumah tangga atau 0,75 kg per orang per bulan. Apabila harga gula eceran melonjak hingga Rp 10.000 per kg, konsumsi gula tiap orang per hari hanya mencapai Rp 250. "Ini masih masih harga wajar. Tapi memang dibandingkan harga tahun lalu ada kenaikan signifikan," kata dia.
Rata - rata harga gula pada 2008 mencapai Rp 7.000, sementara di 2009 rata - rata harga mencapai Rp 9.000 per kg. Sementara itu biaya produksi petani gula mencapai Rp 5500 - 6000 per kg. Margin keuntungan petani gula, kata Arum hanya berkisar Rp 900 - 1000 per kg. Keuntungan inilah yang dimanfaatkan untuk merevitalisasi tanaman tebu dan pabirk gula.
"Membuka keran impor justru mematikan petani dan pabrik gula," katanya. Pada 2003 produksi gula nasional mencapai 1,6 juta ton. Jumlah ini melonjak hingga 2,8 juta ton setelah pemerintah memperketat aturan impor gula dengan persyaratan importir terdaftar. "Impor terkontrol hingga petani dan industri terpacu meningkatkan produksi," jelas Arum.
VENNIE MELYANI