Marwoto dianggap bersalah pada kasus kebakaran pesawat Boeing 737-400 milik Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 200 yang terbakar di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, pada 7 Maret 2007.
Usulan pembentukan majelis profesi ini datang dari empat asosiasi, seperti Asosiasi Pilot Garuda (APG), Indonesia Air Traffic Controller Association (IATCA), Federasi Pilot Indonesia (FPI), dan Ikatan Teknisi Pesawat udara Indonesia (ITPI).
"Sebab, Undang-Undang Nomor 1/2009 telah mengamanatkan pemerintah membentuk majelis profesi penerbangan," kata Presiden APG Stephanus Gerardus, saat menyampaikan pernyataan empat asosiasi atas kasus pilot Marwoto Komar di Jakarta, Jumat (27/2).
Menurut dia, desakan ini dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan keselamatan penerbangan. Termasuk tidak pernah menghukum pilot sebagai pengambil keputusan yang sesuai pendidikan dan pelatihannya. "Penilaian suatu perbuatan melanggar kode etik seharusnya hanya dilakukan oleh lembaga independen yang tepat dan kompeten," ujarnya.
Empat asosiasi ini juga menyesalkan kegagalan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) untuk mempertahankan data penerbangan berupa Cockpit Voice Recorder (CVR) dan Flight Data Recorder (FDR) yang hanya boleh digunakan sebagai alat untuk meningkatkan keselamatan dan mencegah kejadian kecelakaan berulang.
Aturan tersebut sesuai dengan amanat International Civil Aviation Organization (ICAO) Annex 13. Karena yang terjadi, CVR dan FDR justru dijadikan sebagai barang bukti dalam persidangan. "Sesuai Annex 13, data penerbangan tidak boleh dijadikan alat bukti di persidangan," ucapnya.
Sebab itu, empat asoisasi ini meminta pengadilan agar menghormati lex specialis derogat legi generali yang menjadi asas hukum universal. Asas hukum tersebut menyatakan peraturan atau undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan atau UU yang umum. Sehingga dengan demikian personel penyelidikan keselamatan tidak bisa dipakai sebagai barang bukti atau saksi.
WAHYUDIN FAHMI