TEMPO Interaktif, Jakarta: Pelaksanaan program restrukturisasi mesin tekstil tahun depan diperkirakan terkendala sulitnya mendapat pinjaman dari perbankan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ernovian G. Ismy, mengatakan perbankan memperketat pinjaman karena krisis ekonomi global. "Jaminan perbankan sekarang sulit," kata Ernovian saat dihubungi Tempo, Senin (8/12).
Ernovian menambahkan, restrukturisasi mesin tekstil juga perlu dukungan jaminan pasokan listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat, mengatakan krisis ekonomi global memangkas kapasitas produksi hingga 30-40 persen. "Tahun depan ada kemungkinan penurunan," ujarnya. Apalagi, lanjut Ade, pinjaman dari perbankan sulit.
Ade memperkirakan ekspansi pada tahun depan akan tetap berjalan. Karena industri pembuat mesin juga ingin menjual produknya. "Mungkin mereka akan membuat skema baru, sehingga saling menguntungkan," katanya.
Adapun investasi mesin baru tekstil pada 2007 dan 2008 sekitar Rp 2 triliun.
Direktur Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Departemen Perindustrian, Anshari Bukhari, mengatakan restrukturisasi mesin tekstil akan memperhitungkan daya serap tahun ini dari industri tekstil.
Menurut Anshari, pihaknya mengusulkan anggaran restrukturisasi tersebut bisa digunakan sektor lain yang membutuhkan, seperti industri gula dan alas kaki.
Semula, pemerintah menyediakan anggaran restrukturisasi sekitar Rp 300 miliar. Namun, karena krisis ekonomi daya serap industri tekstil berkurang. Sehingga diusulkan dana untuk industri tekstil Rp 200 miliar, Rp 50 miliar untuk industri gula, dan Rp 50 miliar untuk industri alas kaki.
"Proyeksi ke depan, mungkin investasi (tekstil) tidak begitu besar. Jadi, kami usulkan untuk dibagi," jelas Anshari.
Anshari menambahkan, krisis ekonomi global menyebabkan pasar menciut, sehingga konsumen akan mencari yang terbaik dan termurah. Menurutnya, program restrukturisasi mesin justru bisa mendorong industri meningkatkan daya saing barang, sekaligus harga jual lebih murah.
Caranya, melalui efisiensi dengan teknologi mesin baru yang sekaligus bisa meningkatkan produktifitas. "Kalau krisis industri tidak melakukan ini, malah kehilangan daya saing," ujarnya.
NIEKE INDRIETTA