“Ini untuk menilai kinerja usaha mereka dari berbagai sisi,” kata Direktur Bina Produksi Hutan Tanaman, Deny Kustiawan, kepada wartawan di Gedung Manggala Wana Bakti, Jakarta, Kamis (18/9) siang.
Dari 90 pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu tersebut, 55 diantaranya merupakan pemegang usaha yang telah memperoleh surat keputusan definitif dari menteri keuangan, 17 memperoleh SK sementara, sisanya 18 baru memperoleh SK cadangan.
Menurut Deny, penilaian ini dilakukansesuai amanat Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2003, yang mensyaratkan penilaian berkala sekurang-kurangnya 3 tahun sekali kepada para pengusaha yang telah memperoleh Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman.
Saat ini, kata Deny, pemerintah sudah menunjuk 24 LPI yang telah memperoleh akreditasi dan lolos seleksi untuk melakukan penilaian tersebut. “Penggunaan penilai independen ini untuk menjamin obyektifitas dan transparansi dalam pelaksanaan /assesment,” ujarnya.
Dananya, menurut Deny berasal dari Departemen Kehutanan, dengan jumlah sekitar Rp 200 juta per unit penilaian.
Jika dari hasil penilaian tersebut, pengusaha merasa kurang puas , mereka dapat mengajukan keberatan Dewan Pertimbangan Verifikasi. Nantinya hasil keberatan dan penilaian LPI akan diputuskan oleh tim evaluasi yang terdiri dari pemerintah, LSM dan stakeholders kehutanan lainnya.
Dalam penilaian yang akan dimulai pada minggu pertama Oktober tersebut, akan dinilai beberapa kriteria dan indikator yang meliputi kriteria prasyarat, kriteria produksi, serta kriteria sosial dan ekologi, yang masing-masing memiliki kriteria tersendiri.
Dalam kriteria prasyarat misalnya, akan dinilai indikator antara lain seperti kapasitas kawasan, komitmen pemegang ijin usaha, kemampuan investasi perusahaan, kesesuaian dengan kerangka hukum, jumlah dan kecukupan tenaga profesional serta kapasitas perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan umpan balik.
amal ihsan/TNR