Hal itu, menurut Umar yang dihubungi TNR Selasa siang ini, karena tiadanya prioritas, terutama dalam pembenahan sektor riil. Dalam pandangan Umar, tiga sasaran pokok yang tercantum dalam Inpres tersebut, yakni pemantapan stabilitas ekonomi makro, restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan dan peningkatan investasi, ekspor dan penciptaan lapangan kerja, justru tidak mencerminkan adanya pemahaman terhadap prioritas dan pilihan.
Dalam sasaran pemantapan stabilitas ekonomi makro, misalnya, salah satu program yang ditetapkan untuk mencapainya adalah penurunan defisit anggaran belanja negara secara bertahap. “Hal itu kan berarti anggaran pembangunan tidak bisa ekspansif,” kata Umar, “Lantas darimana upaya untuk meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan kerja?” gugatnya.
Menurut Umar, untuk meningkatkan investasi, ekspor dan lapangan kerja, jelas pemerintah harus menjadi pihak yang terlebih dahulu melakukan investasi publik, seperti pembangunan infrastruktur. Masalahnya, menurut Umar, bagaimana mungkin pemerintah bisa melakukan investasi publik apabila anggaran pembangunan tidak ekspansif. “Padahal anggaran pembangunan harus diperkecil untuk menjaga agar terjadi penurunan defisit anggaran yang saat mencapai 1,2 persen,” ujarnya.
Selain itu, program lain dalam mencapai sasaran stabilitas ekonomi makro seperti reformasi perpajakan juga bertentangan dengan upaya meningkatkan investasi, ekspor dan lapangan kerja. Kebijakan fiskal, kata Umar, jelas dikembangkan sebagai sumber penerimaan negara yang handal, “Sementara untuk mengejar tingkat investasi, ekspor yang tinggi dan penciptaan lapangan kerja maka dibutuhkan kebijakan fiskal yang ekspansif dan bukan yang ketat,” urainya.
Program lain dalam mengejar sasaran peningkatan investasi, ekspor dan lapangan kerja juga dinilai Umar tidak menyelesaikan permasalahan.
amal ihsan/TNR