“Berkaitan dengan SP3 ini, kita akan menunggu selama 10 hari pengaduan dari masyarakat. Sekaligus ini sebagai sosialisasi,” ujar Tari.
Pihaknya menurut Tari mengadukan Ajinomoto, produsen konsumen bumbu masak itu kepada polisi, karena membuat ulah dengan mengganti polypeptone dengan bactosoytone dalam produknya itu. Bactosoytone yang dibuat dengan enzim porcine ini diduga keras dan menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengandung bahan yang diharamkan umat muslim di Indonesia. Bactosoytone diduga berasal dari lemak babi.
Lebih lanjut Tari mengatakan, menurut pasal 22 Undang Undang Nomor 8/1999 tentang Perlindungan konsumen, tidak diperlukan bukti-bukti baru. Hal ini bertentangan dengan alasan polisi mengeluarkan SP3, karena unsur kesalahannya adalah pembuktian terbalik.
“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian,” ujar Tari mengutip UU Perlindungan Konsumen itu.
Disamping itu menurut Tari, jika MUI tidak secara konsisten mengeluarkan label halal suatu produk, maka akuntabilitas MUI perlu dipertanyakan. “Jika masyarakat yang selama ini mengkonsumsi produk Ajinomoto, mempertanyakan akuntabilitas MUI, maka YLKI akan selalu berada pada kepentingan konsumen,” tegasnya. Selain itu YLKI akan menempuh jalur hukum lain terkait diterbitkannya SP3 ini, jika nantinya masyarakat merespon atas sosialisasi yang telah diberikannya. (Patnasunu)