“Harus kita lihat, benarkah IMF intervensi? Dari sudut pandang bahwa Indonesia adalah debitur terbesar serta tak mampu membayar cicilan hutangnya, IMF wajib memberikan ‘pengarahan’ kepada Indonesia. Jangan disangka itu bentuk intervensi,”tegas Abdullah yang juga dosen senior di Jurusan Hubungan Internasional Unas ini.
Dikatakannya, dengan hutang sebesar US$ 150,875 milyar, sudah sepantasnya jika IMF bertindak sedikit ‘menekan’. Pelaku pemerintahan, Abdullah melanjutkan, seharusnya lebih menggunakan keterampilan, bakat, dan pengetahuan aspek ekonominya untuk ‘menahan’ tekanan itu melalui LoI. “Gunakan daya negosiasi agar isi LoI dapat disesuaikan dengan kemampuan riil Indonesia untuk memenuhinya,”kata Abdullah menganjurkan.
Abdullah juga menyimpulkan bahwa krisis moneter yang berkepanjangan ini tidak melulu akibat campur tangan IMF yang terkesan tarik ulur dalam hal pengucuran pinjaman. Legislatif seharusnya berperan penting. “Ini akibat tidak berfungsinya badan legislatif sebagai pembuat undang-undang secara lengkap, termasuk bidang moneter,”tegas dia. Seharusnya, Abdullah menambahkan, DPR lebih proaktif dalam membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagai usul inisiatif DPR. “Bukan hanya menunggu dari eksekutif,”tandasnya.
Pada akhirnya, menurut Abdullah diakhir presentasinya, terhenti atau tidaknya krisis ini tergantung pada aspek pemerintahan. Baginya, pemerintah yang mengutamakan politik sebagai suatu pembelajaran dalam berdemokrasi adalah pemerintah yang mampu membangun kepercayaan luar negeri dan melancarkan komunikasi politik luar negeri dengan semestinya. “Penyelesaiannya adalah sikap persuasif, bukan konfrontatif terhadap dunia luar, khususnya IMF,” kata Abdullah menutup pembicaraanya kepada wartawan.(Sri Wahyuni)