TEMPO.CO, Jakarta - Vice President Corporation Communication PT Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan perusahaannya enggan membangun pengolah emas atau smelter di Papua jika permohonan perpanjangan perusahaan tambang tersebut tidak dikabulkan. “Kalau perpanjangan tidak diberikan, ya buat apa bikin smelter? Konsentratnya tidak ada,” kata Riza di Jakarta, Minggu, 25 Oktober 2015.
Riza mengatakan, membangun smelter di Papua tidak mudah karena minimnya infrastruktur di kawasan Kepala Burung. Tidak ada listrik dan fasilitas pelabuhan yang menunjang pembangunan smelter. Selain itu, pengolahan limbah smelter akan menyedot investasi yang banyak. Sebabnya, jika limbah pengolahan mineral dibiarkan akan berbahaya bagi lingkungan.
Freeport sudah memiliki smelter di Gresik. Sebenarnya, kata Riza, membangun smelter bukan fokus perusahaan Amerika tersebut. Freeport membangun smelter di Gresik atas permintaan pemerintah. Namun, karena Gresik area industri dan didukung infrastruktur memadai, Freeport menyanggupi membangun smelter di sana. "Di Gresik, listrik dan pelabuhan ada. Limbahnya akan diserap pabrik pupuk dan semen. Sementara membangun di Papua sangat tidak ekonomis bagi perusahaan kami,” kata Riza.
Riza mengatakan, sumbangan Freeport untuk Indonesia dari hasil tambang di Papua melebihi setorannya kepada perusahaan induknya yang berada di Amerika Serikat. Sebanyak 60 persen untuk Indonesia, dan 40 persen untuk Freeport. Ia menyebutkan daerah Papua sendiri menerima manfaat langsung dari 1992 sampai 2014 sebesar US$ 15,8 miliar dan manfaat tidak langsung hampir US$ 30 miliar.
Sebagai perusahaan pertama yang mengeksploitasi emas di Papua, PT Freeport Indonesia ingin mengajukan perpanjangan kontrak karya yang berakhir pada Desember 2021. Namun, hingga saat ini Presiden Joko Widodo tetap mematuhi Undang-undang Sumber Daya Mineral yang menegaskan pengajuan perpanjangan kontrak hanya dapat dilakukan dua tahun sebelum habis.
MAYA AYU PUSPITASARI