Proyeksi 2017, Harga Komoditas Energi Makin Melambung
Editor
Rully Widayati
Selasa, 27 Desember 2016 23:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Harga komoditas energi, seperti minyak, gas alam, dan batu bara, diperkirakan semakin meningkat pada tahun depan seiring dengan berkurangnya tren surplus pasokan di pasar.
Pada perdagangan Selasa. 27 Desember 2016, pukul 17.44, harga minyak WTI kontrak Februari 2017 berada di posisi US$ 53,16 per barel, naik 0,14 poin atau 0,26 persen. Sementara minyak Brent kontrak Februari 2017 bertengger di US$ 55,16, sama seperti perdagangan sebelumnya.
Dalam waktu yang sama, harga gas alam kontrak Januari 2017 memanas 2,89 persen atau 0,1 poin menuju 3,76 million British Thermal Unit (MMBTU).
Perusahaan finansial Choice International Limited dalam risetnya memaparkan, pada November 2016, harga minyak WTI berhasil meningkat 6 persen, sedangkan Brent tumbuh 6,6 persen. Sentimen utama yang mendorong harga ialah rencana pemangkasan produksi oleh sejumlah negara produsen.
Dalam rapat 30 November di Wina, Austria, Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) sepakat memangkas produksi pada awal Januari 2017 sebesar 1,2 juta barel per hari (bph), atau lebih dari 3 persen menuju 32,5 juta bph. Arab Saudi akan mengambil bagian terbesar dengan pemotongan sekitar 486 ribu bph menjadi 10,06 juta bph.
Adapun Irak, sebagai produsen kedua terbesar OPEC, yang sebelumnya menolak akhirnya sepakat memangkas produksi 200 ribu bph menjadi 4,35 juta bph. Sementara Iran memilih mempertahankan level penambangan 3,68 juta bph untuk membangun kembali pasarnya pasca-pencabutan sanksi ekspor pada awal 2016.
"Perjanjian di Wina merupakan kemenangan bagi semua anggota OPEC. Sejarah menunjukkan organisasi baik dalam berkomitmen, tapi buruk dalam implementasi," papar riset itu, Selasa, 27 Desember 2016.
Adapun persediaan minyak mentah Amerika Serikat menunjukkan tren meningkat sejak Oktober. Pada 30 September, stok sekitar 469,1 juta barel tumbuh 21,17 juta barel pada 11 November menjadi 490,28 juta barel.
Tren persediaan berangsur menipis menuju 485,45 juta barel pada 16 Desember. Pasar masih menunggu dan melihat kelanjutan stok Amerika terhadap harga minyak dengan mempertimbangkan kondisi cuaca dingin di Amerika.
Menurut Choice, harga minyak memasuki tren bullish seiring dengan adanya ekspektasi keseimbangan suplai dan permintaan sehingga harga cenderung membaik pada 2017. Namun tantangan masih menghadang dari rencana The Fed yang mengerek suku bunga sebanyak tiga kali.
Pengerekan suku bunga The Fed menjadi basis penguatan dolar Amerika sehingga menekan permintaan komoditas minyak. Di sisi lain, produksi OPEC di atas level 30 juta bph membatasi pertumbuhan harga.
Penguatan harga minyak akan mendukung peningkatan harga komoditas energi lainnya. Pada bulan depan, Choice memprediksi harga minyak akan berada dalam rentang US$ 48-58 barel.
Untuk gas alam, harga di bursa Nymex tumbuh melebihi 10 persen pada November karena menguatnya permintaan pada musim dingin. Sekitar 50 persen rumah di Amerika menggunakan komoditas tersebut sebagai pemanas.
"Cuaca dingin menjadi faktor utama yang mempengaruhi permintaan gas alam," ujar Choice.
Mengutip data U.S. Energy Information Administration, stok gas alam per 9 Desember sudah turun ke 147 miliar kaki kubik dibanding tahun sebelumnya. Beberapa analis masih mengantisipasi laporan persediaan ke depan untuk memprediksi harga.
Dengan proyeksi tingkat produksi gas alam melesu dan ekspor tetap kuat, harga berpeluang memanas tahun depan. Sentimen positif juga datang dari pertumbuhan konsumsi sektor industri. Pada bulan depan, harga gas alam diprediksi bergerak dalam kisaran US$ 3,21- 3,9 per MMBTU.
Dalam riset lain, perusahaan bank investasi Albilad Capital menyampaikan harga minyak semakin membaik seiring dengan berkurangnya surplus pasokan. Pada 2015, surplus pasokan 2,05 juta bph berkurang menuju 190 ribu bph pada kuartal III/2016.
Turki Fadaak, Research & Advisory Manager Albilad Capital, menuturkan, dengan adanya pemangkasan produksi OPEC dan negara produsen lain, harga minyak 2017 akan tumbuh di kisaran US$ 51 per barel. Tingkat produksi Arab Saudi akan turun menjadi 10,06 juta bph dari 2016 sejumlah 10,39 juta bph.
BISNIS.COM