Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Bali (KOMUNIKA)
TEMPO.CO, Jakarta -- Mahkamah Konstitusi meminta agar pemberian iuran atau pungutan dan anggaran untuk Otoritas Jasa Keuangan lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dibatasi. Batas waktu ini ditentukan secara rembukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, OJK, dan pemerintah. Namun mereka tak mempermasalahkan pendanaan lembaga ini dari APBN.
"Sudah sewajarnya sumber pendanaan OJK dari APBN, sampai OJK dapat mendanai operasionalnya secara mandiri," kata Ketua MK Arief Hidayat, yang memimpin sidang pembacaan putusan di ruang sidang utama MK, Selasa, 4 Agustus 2015.
Arief menambahkan, meski tak diatur dalam undang-undang khusus, tak berarti iuran OJK ini bertentangan dengan UUD 1945. Majelis hakim berpendapat banyak pungutan serupa oleh lembaga lain dan justru, kalau harus dibentuk undang-undang, banyak iuran lain yang jadi ilegal. "Maka akan jadi rumit."
Selain menambahkan adanya batasan khusus, MK membiarkan pendanaan dibiayai APBN dan pungutan seperti masa awal pembentukan OJK. Anggaran ini, seperti amanat Undang-Undang OJK, penggunaannya diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan kantor akuntan publik serta dipertanggungjawabkan ke DPR dan Presiden.
Menanggapi masukan ini, Wakil Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto mengatakan OJK bakal terus berkoordinasi dengan pemerintah dan DPR. "Itu ditegaskan dalam pengaturan lebih lanjut dengan DPR dan pemerintah," katanya.