Tambang Grasberg atau Freeport di Papua, Indonesia. Lubang raksasa ini mulai digali tahun 1973, merupakan penghasil emas terbesar dan penghasil tembaga nomor tiga terbesar di dunia. OLIVIA RONDONUWU/AFP/Getty Images
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat mendesak pemerintah merevisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara. Revisi dinilai dapat memberi kepastian terkait dengan rencana perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia di Papua.
“Tidak mesti segera terbitkan perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). Itu kan hanya salah satu. Bisa juga revisi UU Minerba,” kata Wakil Ketua Komisi Energi DPR Satya Widya Yudha di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 6 Juli 2015.
Satya menyatakan ada dua pendekatan soal Freeport, yaitu hukum dan ekonomi. Terkait dengan hukum, menurut Satya, Freeport tidak bisa melakukan ekspor jika tidak memiliki smelter. “Freeport baru 40 persen dan 60 persen lainnya belum,” ucapnya. “Kalau diekspor, cuma 40 persen saja.”
Freeport juga telah melewati batas waktu dalam membangun smelter. Seharusnya, ujar Satya, pembangunan smelter dilakukan pada 2014. “Aspek ekonominya, Freeport mau bangun smelter dengan investasi 2,3 miliar dolar dan investasi lain yang totalnya mencapai 18 miliar dolar,” tuturnya.
Komisi Energi, menurut Satya, tidak ingin pemerintah menerima alasan ekonomi Freeport tapi melanggar undang-undang. Karena itu, kata dia, perlu dilihat alasan ekonomi dan pembenahan kerangka hukum. “Presiden sudah bilang akan melakukan kajian,” ujar Satya.
Kontrak Karya Freeport akan habis pada 2021. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, Freeport baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak pada 2019. Namun perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu meminta perpanjangan kontrak saat ini.