Harus Mampu: Nyaman Bekerja di Luar dan Pulang Sejahtera
Editor
Rully Widayati
Selasa, 2 Juni 2015 22:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pekan lalu, publik kembali disuguhi kabar menyedihkan. Ada 16 warga negara Indonesia dari Pekanbaru disekap dan disiksa di Kamboja, meski akhirnya mereka bisa dipulangkan pada Kamis (28/5) sehingga tak jadi menambah daftar tenaga kerja Indonesia bermasalah di luar negeri.
Bulan lalu, publik dikagetkan dengan kabar eksekusi mati terhadap Siti Zaenab, wanita asal Madura, Jawa Timur, yang telah bekerja di Arab Saudi sejak 1999. Disusul kabar tentang Karni Binti Medi Tarsim, TKI asal Brebes Jawa Tengah, yang dipancung di Arab Saudi. Mereka dieksekusi masing-masing pada 14 dan 16 April 2015.
Akankah cerita nestapa ini berlanjut? Faktanya, saat ini ada 278 TKI terancam hukuman mati di berbagai negara. Sebanyak 212 TKI berada di Malaysia, 27 di China, 37 di Arab Saudi, dan masing-masing 1 TKI di Singapura dan Qatar. Kasus Siti Zaenab dan Karni adalah cermin kemampuan diplomasi yang buruk.
Pada akhir 2013, WNI yang memilih atau ‘terpaksa’ mencari penghidupan di negeri orang tercatat 6,5 juta jiwa. Pada 2014, angka tersebut bertambah dengan adanya pemberangkatan baru sekitar 500.000 orang. Dari total jumlah tersebut sebanyak 1,8 juta orang menghadapi berbagai masalah.
Bekerja di luar negeri bagi sebagian besar TKI merupakan upaya untuk mengatasi kesulitan hidup di dalam negeri. Kenyataan menunjukkan bahwa negeri ini tidak cukup dapat menyediakan lapangan kerja.
Artinya, menjadi TKI di luar negeri untuk memenuhi tuntutan hidup, sekaligus upaya upaya untuk memenuhi hak yang paling mendasar, hak untuk mempertahankan hidup dan hak berusaha. Demi harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik, mereka pun pergi ke luar negeri meski harus meninggalkan keluarga.
Padahal, seperti disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, satu dari empat kunci bahagia adalah rezeki di dekat rumah sendiri.
"Arba’un min sa’adatil mar’i. Antakuna zaujatuhu shalihatan, wa aulaaduhul abrara, wa khulathoouhu shalihiin, wa anyakuna rizkuhu fii baladihi." Ada empat perkara yang dapat membuat kebahagiaan seseorang: adanya istri-istri yang shalihah, adanya anak-anak yang baik, pergaulannya dengan orang-orang saleh, dan rezekinya dekat dengan tempat tinggalnya.
Bila anak-anak bangsa terpaksa jauh-jauh mencari rezeki di negeri orang, pun harus meninggalkan keluarga mereka, lalu untuk apa ada negara ini ada? Seperti tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, adalah empat rumusan tujuan negara, sekaligus merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh negara.
Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat, ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Melihat TKI dengan segala cerita latar belakang, dan kenyataan hari ini tampaknya tujuan negara itu makin jauh saja dari kata tercapai.
Tak ada pilihan lain, para penyelenggara negara harus kembali sadar akan tujuan nasional, dan wajib hadir untuk mengatasi problematika buruh migran alias TKI yang bekerja di luar negeri itu.
Meski banyak masalah, moratorium TKI bukanlah kebijakan yang telah karena menyangkut hak dasar warga negara untuk memilih dan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Terlebih apabila di dalam negeri tidak ada pilihan. Negara justru harus semaksimal mungkin membuka akses dan fasilitasi, terutama kesempatan bekerja di dalam negeri seluas-luasnya.
Peningkatan kompetensi dan penguasaan keterampilan hidup sumber daya manusia menjadi hal yang pokok bagi terbukanya kemampuan WNI untuk menangkap peluang bekerja atau berwirausaha.
Pemerintah juga harus secara serius memberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi mereka yang bekerja di luar negeri, melalui pembenahan sistem ketenagakerjaan, mulai dari prapenempatan, saat penempatan, dan pascapenempatan.
Apabila sistem dibenahi sejak awal hingga akhir proses, problematika TKI tentu akan dapat diminimalkan.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid sering berujar bahwa hal yang paling penting dari pembenahan masalah TKI adalah bagaimana mereka bisa berangkat dengan murah, bekerja dengan nyaman, dan pulang bisa sejahtera.
Salah satu indikator sejahtera adalah pulang dengan membawa hasil dan bisa memanfaatkannya untuk memperbaiki taraf hidup ketika sudah kembali ke Tanah Air. Baik taraf hidup dirinya, keluarganya, hingga membawa berkah kepada masyarakatnya. Di antaranya dengan berwirausaha atau bekerja di negeri sendiri, di rumah sendiri.