Presiden terpilih Joko Widodo (kanan) dengan Kepala Staf Kantor Transisi Jokowi-JK, Rini Soewandi (kiri) dan Deputi Kepala Staf, Anies Baswedan (kedua kiri), Hasto Kristiyanto (kedua kanan) dan Akbar Faisal di halaman Kantor Transisi Jokowi-JK di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta, 4 Agustus 2014. ANTARA/Widodo S. Jusuf
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang, Ahmad Erani Yustika, berpendapat bahwa pemerintah ke depan perlu menuntaskan persoalan di sektor minyak dan gas dari akar persoalannya. Hal ini perlu dilakukan sebelum pemerintah baru memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) atau tidak.
"Pemerintahan baru harus terlebih dahulu menyelesaikan persoalan mafia di sektor migas, baru memikirkan kenaikan harga BBM," ujar Ahmad Erani saat dihubungi, Kamis, 14 Agustus 2014. (Baca: Ujian Pertama Jokowi Ada di Akhir 2014)
Setelah memberantas mafia migas, tutur Erani, pemerintahan baru perlu melakukan sebuah konsensus perihal harga BBM. Dengan demikian, harga BBM tidak serta-merta diserahkan penuh kepada mekanisme pasar. "Pemerintah ke depan harus lebih kreatif di dalam menentukan harga BBM, tidak selalu menyerah ke anisme pasar," ujarnya.
Menurut Erani, persoalan minyak dan gas bumi sangat perlu menjadi perhatian pemerintah mengingat sektor ini mempengaruhi banyak sektor lain. "Kalau masalahnya sudah selesai, baru politik subsidi mulai dipikirkan," ujarnya. (Baca:Jokowi: KenaikanHargaBBM Harus Tegas)
Sebelumnya, Bank Indonesia dan pemerintah merilis data bahwa peningkatan surplus neraca perdagangan nonmigas belum mampu mengimbangi peningkatan defisit neraca perdagangan minyak dan gas bumi. Seperti diketahui, ekspor komoditas seperti batu bara, minyak sawit dan mineral mengalami penurunan seiring dengan melambatnya pertumbuhan di negara berkembang. Sebaliknya, impor minyak dan barang konsumsi pada triwulan II 2014 relatif tinggi karena bertepatan dengan momentum Lebaran.