Ribuan buruh bernyanyi bersama saat band Slank beraksi di Sportmall Kelapa Gading, Jakarta (12/02). Slank hibur buruh usai melakukan long march dari Bundaran HI hingga Istana Negara dengan menuntut pemerintahan SBY-Boediono menjalankan jaminan kesehatan bagi buruh dan menaikkan upah minimum buruh. TEMPO/Dasril Roszandi
TEMPO.CO,Jakarta - Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Sarman Simanjorang menyayangkan Keputusan Presiden yang menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional. Ia berpendapat, tak ada kepentingan mendesak untuk meliburkan kegiatan industri pada peringatan Hari Buruh. (baca: HariBuruh, 10 Ribu Orang Unjuk Rasa di Istana)
"Urgensinya tidak ada," kata Sarman melalui siaran pers, Rabu, 30 April 2014. Menurut dia, penetapan hari libur pada 1 Mei di negara lain tak bisa dijadikan pertimbangan untuk melakukan hal serupa karena perbedaan kondisi. (Baca: 1 Mei, Wakil Kapolri Sarankan Buruh Berbagi Rezeki)
Sarman berujar, seharusnya pemerintah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan perusahaan industri mengisi Hari Buruh dengan kegiatan internal seperti pelatihan sumber daya manusia, olahraga, dan kesenian. Dia menganggap acara tersebut lebih bermanfaat ketimbang meliburkan industri.
Sarman mengatakan seharusnya pemerintah ingat akan penilaian World Economic Forum (WEF) yang menyatakan daya saing Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan internasional ataupun lingkungan regional ASEAN. Indonesia berada di peringkat ke-50 dari 144 negara. Posisi ini berada jauh di bawah Singapura yang menempati urutan kedua, Malaysia di nomor ke-25, Brunei Darussalam pada urutan ke-28, dan Thailand yang menempati posisi ke-38.
Selain itu, Sarman mengatakan, menjadikan Hari Buruh sebagai hari libur juga merugikan pengusaha. Ia mencontohkan, perusahaan padat karya bidang garmen akan mengalami kerugian lantaran target hasil produksi tidak tercapai. (Baca: HariBuruh, 10 Ribu Orang Unjuk Rasa di Istana)
Untuk menghindari pembayaran sanksi, perusahaan harus menerapkan lembur dengan pembayaran gaji dua kali lipat. "Bayangkan berapa besar kerugian yang harus ditanggung dunia usaha akibat proses yang berhenti," ujarnya.