TEMPO.CO, Jakarta -Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, menegaskan pemberlakuan bea keluar progresif dalam ekspor mineral tidak akan membangkrutkan perusahaan tambang. Namun perusahaan tambang akan mengalami perlambatan untuk sementara waktu.
"Jangan berpikir bangkrut, tapi slowdown saja. Sekarang ada 66 smelter yang saya kejar, 20 smelter saja beroperasi maka bisa menampung perusahaan yang kecil-kecil," katanya di Kementerian Energi, pada Jumat, 7 Maret 2014.
Jero mengatakan jika 20 dari 60 smelter tersebut beroperasi maka tujuan ekspor perusahaan-perusahaan kecil tersebut akan dialihkan ke smelter tersebut. "Mereka tidak akan mati, hanya menunggu smelter jadi lalu nanti mereka jual ke perusahaan smelter itu," katanya.
Ia juga mengatakan penurunan ekspor tahun ini yang mengakibatkan defisit US$4 miliar juga sudah diantisipasi pemerintah. Dia melanjutkan, pemerintah menargetkan perbaikan neraca pada 2015 yaitu volume ekspor mulai naik.
Pada 2016, Indonesia menargetkan akan terjadi surplus US$16 miliar karena semua smelter semua sudah mulai beroperasi. "Jadi ekspor akan mahal dan uang yang dihasilkan akan banyak," katanya.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.011/2014 menyatakan, untuk bahan mineral mentah bea keluar dikenakan hingga 60 persen. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberlakukan kebijakan pertambangan yang dinilai kontroversial mulai 12 Januari 2014. Sebagian perusahaan menganggap langkah itu menimbulkan kekacauan di sektor pertambangan. Selain melarang ekspor bijih mineral mentah, pemerintah Indonesia pun mengeluarkan ketentuan pajak ekspor konsentrat.