Pemudik di Bandar Udara Radin Inten II (Branti), Sabtu, khususnya yang akan meninggalkan Lampung terus mengalami peningkatan sejak sehari setelah Lebaran (H+1) hingga Jumat (H+4), dengan total pemudik sebanyak 8.823 orang, sehingga pihak bandara menambah jadwal penerbangan sejumlah maskapai menjadi 18 kali. ANTARA/Taufik Hidayat
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dinilai lamban melakukan penyesuaian tarif batas atas tiket pesawat. Padahal, saat ini depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sudah mencapai 25 persen sehingga membebani ongkos operasi maskapai.
"Masalah nilai tukar rupiah ini masih menjadi isu utama di dunia penerbangan karena lebih dari 70 persen struktur biaya perusahaan penerbangan dipengaruhi oleh dolar," kata Chairman Indonesia National Air Carriers Association (INACA), Arief Wibowo, kepada wartawan di Whitesky Aviation Halim Perdanakusuma, Rabu, 5 Februari 2014.
Arief mengatakan pemerintah selama ini lamban dalam mengatasi kesulitan yang ditanggung oleh maskapai. Sudah lebih dari enam bulan kondisi rupiah terus melemah, namun keputusan untuk menaikkan tarif batas atas tiket pesawat tak kunjung dikeluarkan. "Dengan manage penerbangan di low-season, peak-season, dan high-season, kami harus dinamis memanajemen harga."
Saat ini tarif atas tiket pesawat masih dipatok berdasarkan kesepakatan pada 2010 yakni dengan nilai tukar rupiah Rp 10.000 per dolar Amerika Serikat. Padahal, kini nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sudah di atas Rp 12.000. "Kami harapkan pemerintah sepakat menyesuaikan tarif atas minimal 20 persen di atas yang diberlakukan saat ini."
Sekretaris Jenderal INACA, Tengku Burhanudin, juga menyayangkan sikap pemerintah ini. Menurut dia, saat ini biaya yang harus ditanggung maskapai meningkat 25 persen dalam rupiah per penerbangan. "Bagaimana kami mau menutupi beban ini. Kami minta ke Pak Menteri Perhubungan untuk segera menetapkan nasib kami," ujarnya.
Kementerian Perhubungan hingga saat ini belum memberi persetujuan atas usulan tersebut. Pemerintah hanya memberikan restu untuk penyesuaian biaya operasional yang dihitung per kilometer akibat lonjakan harga avtur dan bahan baku lainnya (fuel surcharge).