Pegawai menunjukkan uang di sebuah Money Changer di Jakarta, Rabu (03/02). Rupiah hari ini ditutup pada level 9.395 per dolar Amerika, atau kembali menguat 70 poin dibandingkan posisi sehari sebelumnya di 9.365. TEMPO/Dinul Mubarok
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Standard Chartered Bank, Eric Sugandi, memprediksi nilai tukar rupiah pada akhir tahun ini bisa turun ke 11.400 per dolar Amerika Serikat. Hal tersebut didasari oleh perkiraan bahwa pada semester kedua bakal ada sejumlah faktor penopang penguatan kurs rupiah.
Ia menjelaskan salah satu penyebab penguatan rupiah adalah tindakan price in yang sudah dilakukan mengantisipasi tapering off dalam beberapa bulan ini. Selain itu, pada semester kedua nanti masyarakat sudah mengetahui susunan pemerintahan Indonesia.
“Akhir tahun kami perkirakan rupiah akan menguat,” ujar Eric saat ditemui usai acara Global Research Briefing di Jakarta, Senin, 27 Januari 2014. Adapun pada akhir semester satu ini, dia memprediksi rupiah berada pada level Rp 12.500 per dolar AS.
Eric mengatakan jika Bank Indonesia mempertahankan kurs rupiah pada level sekarang, sebenarnya defisit neraca transaksi berjalan bisa berkurang. Namun di sisi lain masih ada risiko, sehingga suku bunga acuan masih mungkin akan dinaikkan 50 basis point menjadi 8 persen pada akhir tahun.
Menurut Eric, upaya mempertahankan posisi rupiah tak selalu akan mengorbankan cadangan devisa. Hal lain yang bisa dilakukan, misalnya, dengan mengurangi intervensi harian. Cadangan devisa untuk saat ini tak perlu dikhawatirkan sebab dalam dua bulan terakhir nilainya cenderung naik. "Jadi dengan membiarkan rupiah dalam level sekarang justru bisa menjaga cadangan devisa kita."
Eric menilai terdapat beberapa risiko pada semester kedua yang harus dipertimbangkan, yakni kenaikan defisit neraca transaksi berjalan dan faktor politik berupa pemilu. Walaupun secara umum pemilu diperkirakan berjalan lancar, investor asing cenderung berpandangan negatif.