Seorang buruh karet mengumpulkan getah karet yang telah disadap di lahan perkebunan karet Perusahaan Daerah Perkebunan Gunung Pasang, desa Kemiri, Jember, Senin (6/11). Dalam sehari masing-masing buruh mampu mengumpulkan 25 kilogram getah karet dengan upah Rp 4500 perkilo. TEMPO/Fully Syafi
TEMPO.CO, Jakarta -- Ketua Umum Dewan Karet Nasional Azis Pane mengatakan permintaan karet yang meningkat tidak disertai dengan suplai yang cukup. "Terjadi defisit produksi karet," katanya dalam diskusi Dewan Karet Nasional dengan Kementerian Perindustrian di Hall Pomelotel Residence, Jakarta, Senin, 24 Juni 2013.
Penyerapan ideal karet sebesar 4,2 juta ton per tahun. Adapun produksinya mencapai 1 juta ton saat ini. Azis mengatakan defisit karet diakibatkan sedikitnya lahan dan tidak efektifnya produksi. Ia mengklaim ada 3 juta hektare yang bisa digunakan untuk lahan karet. "Thailand memiliki lahan 2,4 juta hektare, tapi produksinya lebih 4 juta ton."
Akibat produksi yang kecil karet Indonesia belum bisa bersaing di pasar global, termasuk pasar ASEAN. "Tidak ada yang peduli dengan produktivitas karet yang masih rendah, termasuk pemerintah," ujarnya.
Azis menilai pemerintah daerah dapat berperan lebih besat untuk meningkatkan produksi karet. Ia menyayangkan beberapa kebijakan pemerintah daerah yang kontra produktif dengan upaya peningkatakan produksi karet. "Penyuluhan tidak berjalan dengan baik," katanya.
Sebelumnya Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia Daud Husni Bastari mengatakan ekspor karet naik 6 persen pada kuartal pertama tahun ini. Namun kenaikan ini tidak diikuti pendapatan devisa. "Pendapatan devisa justru turun."
Penurunan devisa itu akibat merosotnya harga karet yang dipengaruhi fluktuatisi kurs mata uang dunia. "Yen Cina terhadap dollar Amerika, dollar Amerika terhadap rupiah Indonesia," ujarnya.