TEMPO Interaktif, Jakarta: Paket Kebijakan Ekonomi Pasca Dana Moneter Internasional (IMF) yang lebih dikenal dengan istilah White Paper dinilai suatu kebijakan yang birokratis. Kebijakan tersebut tidak menyebutkan target kuantitatif dari program yang akan dijalankan."Dalam soal memberantas kemiskinan misalnya, pemerintah baru merumuskan kebijakan untuk memberantas kemiskinan targetnya November 2004. Ini berarti tidak ada apa-apa karena merumuskan strategi saja begitu lama," kata Rizal Ramli, pengamat ekonomi dari Econit usai acara diskusi "The Solution of Indonesia's Debt: Post IMF Programme" di Hotel Ambhara Jakarta, Rabu (17/9). Rizal menilai seharusnya kebijakan pemerintah itu mempunyai target kuantitaf yang jelas. Pemerintah, misalnya, harus menyebutkan berapa target investasi untuk mencapai pertumbuhan lima persen. Dengan tidak adanya angka-angka tersebut, menurutnya, kebijakan tersebut terkesan birokratis dan tidak substantif. "Jadi ini sangat sumir," tegasnya. White Paper itu, menurut bekas Menteri Perekonomian ini, juga terkesan tidak mempunyai benang merah yang jelas sebagai strategi kebijakan. Pasalnya, tiap-tiap departemen punya program sendiri yang tidak mempunyai koordinasi dengan yang lainnya. Menurutnya, kebijakan ini layaknya sekedar kelanjutan dari program IMF seperti keinginan untuk terus mempertahankan bujet defisit yang rendah dan privatisasi BUMN. Selain itu, menurut Rizal, kebijakan ini tidak memiliki strategi untuk memanfaatkan momentum kondisi perekonomian dunia yang semakin baik tahun depan. Ia mengatakan suasana perekonomian tahun depan di negara-negara OECD (Organization of Economic Co-operation and Development), Amerika, Jepang, dan ASEAN akan membaik sehingga memacu peningkatan ekspor. Edy Can - Tempo News Room
Berita terkait
Pakar Ulas Sengketa Pilpres: MK Seharusnya Tidak Berhukum secara Kaku
3 menit lalu
Pakar Ulas Sengketa Pilpres: MK Seharusnya Tidak Berhukum secara Kaku
Ahli Konstitusi UII Yogyakarta, Ni'matul Huda, menilai putusan MK mengenai sengketa pilpres dihasilkan dari pendekatan formal legalistik yang kaku.